AKHIRNYA AKU BISA #1
Halo! Apa kabar semuanya? Semoga semuanya dalam kondisi yang sehat dan baik ya. Hari ini hari selasa dan itu artinya tema tulisan kali ini yaitu Tuesday (Talking unforgetable experiences in day).
Pada kesempatan ini, Up to You akan share mengenai
pengalaman sewaktu SD dari salah satu admin. Mungkin isinya begitu personal,
namun semoga kalian bisa menangkap pesan apa yang ingin disampaikan. Bagi yang
penasaran, let’s check this out!
Bagi beberapa orang di zaman
dulu, asumsi pintar yaitu orang yang menguasai bidang matematika saja. Bila
asumsi ini diberitakan kepada milenial dengan pemikiran yang sudah terbuka
mungkin akan langsung dipatahkan. Tapi,
memang benar adanya. Dahulu, keterampilan dasar yang perlu dikuasai di tingkat
dasar mencakup menulis, membaca dan berhitung atau yang biasa disingkat dengan
‘Calistung’.
Sewaktu SD, aku bukan siswa yang pintar, cenderung siswa yang
tergolong kelompok minoritas. Tidak menonjol, pemalu dan hanya mengenal beberapa siswa yang dirasa satu nasib di kelas. Keterampilan
calistung yang dimiliki pun belum mumpuni, masih tertinggal jauh dari yang
lain.
Pada saat itu, aku di jenjang kelas 3 SD dan masih belum hafal
perkalian dari 1x1 sampai 10x10. Wah, sepertinya pertanda gawat, bukan? Benar saja, saat malam hari –jadwal belajar di rumah— aku diminta
untuk menghafalkan perkalian tersebut dan bila jam belajar telah selesai akan
dicek oleh Bapak. Tibalah tes pengecekan hafal itu. Bapak mulai mengajukan
pertanyaan dan kebanyakan jawaban yang diberikan salah dan selebihnya hanya
diam tertunduk –karena tidak tahu. Malam itu Bapak masih maklum, ini pertama
kali juga untukku.
Di malam selanjutnya, aku masih diberikan tugas yang sama. Berusaha
untuk menyerap seluruh isi perkalian tersebut ke dalam otak. Jam belajar
selesai dan pengecekan kembali dilakukan. Hasilnya... masih tetap nihil.
Suasana tegang membuatku tertekan dan tidak fokus. Sayangnya di malam itu,
Bapak merasa jengkel. Di usia yang masih muda itu aku harus mendengar makian
dan kalimat mengenai ketidak becusan dalam melakukan hal –disertai dengan suara
khas orang marah. Aku dibilang bodoh, tolol dan tidak becus. Reaksiku...
tentunya menangis. Sakit hati telah dimarahi dan dimaki. Merasa diri begitu
bodoh dan tidak berguna sampai bisa diperlakukan seperti itu. Mulai saat itu,
aku bertekad untuk membalasnya. Aku harus menunjukkan bahwa aku bisa, harus
kutunjukkan bahwa semua makian tentangku itu salah. Ya, aku harus bisa!
Sejak kejadian itulah, aku menghindari Bapak. Aku berusaha keras
untuk menghafal perkalian tersebut. Bapak pun tidak menemaniku selama belajar
sehingga aku bisa lebih leluasa dalam menghafal. Tiga malam berselang dari
malam aku dimarahi, aku dengan berani menghadap Bapak sembari membawa tabel
perkalianku. Aku menyampaikan maksud supaya Bapak mengetes hafalan perkalianku.
Mulailah Bapak menyebutkan pertanyaan. Aku yang sebenarnya sedang tegang itu
dengan perlahan menyebut jawabannya. Dan ternyata... jawabannya benar!
Pertanyaan demi pertanyaan terus dilontarkan seiring dengan jawaban yang
kuberikan. Pada tes itu, hanya beberapa jawaban saja yang masih salah. Tesnya
sudah selesai dan Bapak memintaku untuk menghafalkannya kembali sembari
menyerahkan tabel perkalian milikku. Aku tentunya bersorak girang, senang
sekali! Akhirnya balas dendamku terwujud. Akhirnya aku bisa menaklukan
perkalian tersebut.
Berkat kejadian di malam itu, aku semakin rajin menghafal hingga
perkalian 1x1 sampai 10x10 itu berhasil dihafal. Setelah tugas itu selesai,
Bapak mulai mengajariku perkalian bersusun. Setiap malam Bapak menemani
belajar, memberi latihan soal hingga mengecek jawaban. Seluruh kegiatan itu
terus dilakukan berulang hingga aku terbiasa dan perlahan mulai menyukai
matematika.
Aku bersyukur telah melewati fase itu. Dengan keterampilan dalam
perkalianlah aku bisa menonjol, aku bisa berani dan dikenal oleh teman-teman
yang lain. Entah apa jadinya bila aku tidak pernah dimarahi Bapak sewaktu
menghafal. Atau, entah apa
jadinya bila aku termakan ucapan dan larut dalam kesedihan saat itu. Dari sana,
aku mendapat sudut pandang baru. Segala sesuatu terjadi ada sebabnya, tidak
terjadi secara kebetulan. Terkadang tekanan dan makian itu diperlukan untuk
memacu diri supaya bisa berusaha lebih dan memotivasi diri. Dan akhirnya, aku
bisa!

Komentar
Posting Komentar