Cerpen: Jangan Meragu!

Akhir pekan akhirnya datang juga. Senin sampai jum’at yang diisi dengan padatnya perkuliahan itu akhirnya menemukan jeda. Biasanya weekend diisi dengan kegiatan pulang ke rumah, mengingat jarak rumahku dengan indekos tidak begitu jauh. Namun, kebetulan hari sabtu itu ada hal yang harus dikerjakan. Terpaksa, sepertinya aku harus mengorbankan jadwal rutinan pulang ke rumah. Yah!

Ternyata, kegiatan di hari sabtu itu selesai lebih cepat dari perkiraan. Alhasil, aku bergegas pulang ke indekos. Teman-teman yang satu indekos denganku hampir semua pulang ke rumah—kebetulan memang kami satu daerah. Tinggal aku yang masih berdiam. Biasanya saat ingin pulang ke rumah, aku sudah niat dan merencanakan dari waktu-waktu sebelumnya. Namun kali ini, aku tak punya rencana. Berdiam di indekos pun sepertinya bukan pilihan. Tapi, bila pulang di saat yang tidak terencana rasanya ganjal. Dan... aku pun bimbang. Menimbang-nimbang banyak pilihan, padahal hanya sekadar urusan pulang atau tidak. Pada akhirnya aku memutuskan untuk pulang dengan ketentuan segala kerjaan di indekos harus diselesaikan.

Waktu senja di hari sabtu, sambil menggendong tas punggung yang biasa ku pakai untuk membawa barang saat pulang ke rumah, aku dengan tergesa pergi ke terminal angkot. Mataku tertuju ke seberang jalan, pada angkot hijau dengan garis biru muda yang akan membawaku ke daerah Kalapa. Setelah memasuki angkot, aku duduk dengan nyaman dan tidak menunggu lama angkot pun melaju. Meninggalkan hiruk pikuk padatnya jalanan di sore menjelang malam hari. Aku masih termagu, masih memikirkan keputusanku untuk pulang. Biasanya orang tuaku tidak mengizinkan bila aku pulang ke rumah saat malam hari. Khawatir, katanya. Apalagi aku biasanya jarang dijemput, yang mana aku sendiri harus berusaha pulang dengan selamat sampai rumah.

Tak terasa langit sore menjadi gelap. Aku memandangi kemacetan jalanan lewat jendela angkot. Hhh... sepertinya aku akan sampai agak malam di rumah. Angkot terus melaju. Aku masih setia memperhatikan jalanan dan gemerlap cahaya di sekitarnya. Ternyata, suasana Bandung di malam hari cantik juga. Tiba-tiba, angkot tujuan Kalapa yang biasa berbelok ke kanan malah berbelok ke kiri. Aku termenung. Tapi, aku ingat dulu pernah melewati daerah sana saat berangkat ke kampus bersama temanku menggunakan sepeda motor. Alhasil, aku merasa biasa kembali.

Namun, semakin jauh perjalanan, aku banyak menemui tempat asing. Babakan Siliwangi, ITB, Kebun Binatang. Tunggu! Aku pun mengamati garis yang ada di badan angkot. Ternyata angkot yang kunaiki berwarna hijau bergaris hitam. Angkot jurusan Ledeng-Cicaheum. Tuhan, ternyata dari tadi AKU SALAH NAIK ANGKOT. Angkot pun terus melaju. Aku yang sebelumnya belum pernah naik angkot jurusan tersebut langsung panik. Selain itu, seingatku tidak ada kendaraan umum yang akan membawaku menuju rumah bila berada di daerah sana. Tiba-tiba pikiran lain muncul. Aku ingat kalau aku hanya membawa uang 20 ribu. Sebenarnya uang sebanyak itu cukup untuk ongkosku pulang ke rumah bila melalui jalur yang sesuai. Tapi saat ini kan lain ceritanya. Aduh gawat!

Dengan perasaan panik aku mencoba menghubungi teman-temanku yang bisa dimintai tolong. Aku gusar, ditambah dengan baterai ponsel yang mulai menipis. Akhirnya, ada temanku yang mengabari bersedia membantu. Dia bilang bisa mengirim uang ke rekeningku sebagai tambahan ongkos pulang. Aku membalas setuju. Namun... sebentar! Bodohnya aku, sama sekali aku tak ingat berapa nomor rekeningku. Disimpan di memo atau catatan ponsel pun tidak. Aduh, aduh dan mengaduh saja sedari tadi. Ya Allah, aku harus bagaimana?

Akhirnya setelah memikirkan kemungkinan yang harus diambil, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada supir angkot.

Punten Mang, kalau mau ke Kalapa dari sini naik angkot apa ya? Saya salah naik angkot.” Akhirnya kalimat itu meluncur juga. Penumpang yang lain menatapku heran setelah mendengar ucapanku. Aku pun meringis.  

“Aduh Neng, kalau ke Kalapa mah tadi naik angkot yang garisnya biru. Paling nanti turun aja di depan, nanti ada angkot yang nomor 2. Jurusan ke Kalapa.” Beruntung sekali supir angkot yang kunaiki berbaik hati mengarahkanku yang tersesat ini.

“Oh gitu. Punten ya Mang, kalau ada angkotnya kasih tahu saya.”

“Iya Neng.”

Dan akhirnya tak menunggu lama, di sekitar jalan yang kulupa namanya, angkot nomor 2 itu muncul. Sang supir angkot memberhentikan angkot tersebut dan mengarahkanku untuk ke sana. Setelah membayar ongkos dan mengucapkan banyak terima kasih, aku bergegas saja menyeberang jalan dan memasuki angkot nomor 2 tersebut. Alhamdulillah, dengan begini setidaknya jalanku menuju rumah sudah tidak linglung lagi.

Sesampainya di Kalapa, aku pun bergegas mencari elf jurusan Majalaya. Dan masih beruntungnya aku, kendaraan umum yang kucari masih ada. Segera saja aku naik dan duduk dengan tenang. Penumpang di dalam elf cukup padat, sepertinya didominasi oleh orang yang baru pulang bekerja. Lalu, aku mengecek uang ongkos yang tersisa. Ternyata tinggal 8 ribu lagi. Dan itu masih kurang untuk ongkosku sampai ke tempat terakhir pemberhentian elf. Aduh! Untung saja aku ingat untuk segera mengabari Bapak di rumah untuk minta dijemput dan mengabari juga supaya membawa uang lebih. Seolah di hari itu keberuntungan disediakan untukku, Bapak bisa dihubungi dan bersedia. Aku bilang akan menghubungi lagi bila hampir sampai di tempat pemberhentian terakhir. Setelahnya aku bernapas lega. Tak henti aku merapal syukur dalam hati. Walaupun hari itu sangat berat bagiku, namun banyak sekali kemudahan yang menghampiri. Ya Allah, terima kasih, terima kasih banyak.   

Di tengah perjalanan, kernet elf menagih ongkos kepada setiap penumpang. Aku yang baru saja bernapas lega kembali panik. Saat kernet itu melihat ke arahku, aku hanya bisa memberikan seluruh uang yang kupunya. Aku tahu uang itu kurang namun sepertinya itu lebih baik daripada aku tidak membayar sama sekali. Tak terasa, silih berganti orang turun di tempat tujuannya. Tersisa kami penumpang yang akan turun di pemberhentian elf terakhir. Aku merasa sang kernet terus memandangiku, terasa mengintimidasi. Aku cukup peka merasakan tatapan itu sebagai tatapan ‘orang dengan ongkos yang kurang’. Saat itu, aku hanya bisa tertunduk malu.

Akhirnya, elf sudah sampai di pemberhentian terakhir. Saat turun, aku bersyukur melihat Bapakku yang sudah siaga di atas motornya untuk menjemputku pulang. Aku segera saja menghampiri Bapakku dan meminta uang 2 ribu. Setelah mendapatkannya, aku kembali ke elf tadi. Aku menyampaikan ke kernet kalau ongkosku kurang sambil menyodorkan uang yang telah kubawa. Kerket tadi menerima uang tersebut dengan tersenyum dan menyampaikan terima kasih. Aku pun berlalu, kembali kepada Bapak dan langsung duduk di boncengan motor.

Selama perjalanan pulang ke rumah, aku menceritakan semua yang kualami pada Bapak. Dan tetap saja pada akhirnya aku yang dimarahi. Memang, aku yang salah karena kurang persiapan. Memang, aku yang salah karena memaksakan. Memang, aku yang salah karena awalnya meragu. Lewat perjalanan tak terlupakan inilah, aku mendapat pandangan baru yaitu keraguan itu tak baik. Keraguan itu malah yang menggoyahkan diri sendiri. Maka dari itu, bila ragu sebaiknya jangan dilakukan. Makanya... jangan meragu!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

All about Mood Seri #2

Talk about Book: Love Is...

Quotes of The Day