Dunia Itu Bisa Gila, Kan?
Hari
selasa datang membaca kenangan-kenangan yang menjadi pengalaman tersendiri.
Kita bertemu lagi di tema talking unforgettable experiences in day. Ah, rasanya
memang begitu menyenangkan jika mengingat pengalaman ini. Pengalaman yang aku
habiskan dengan penuh air mata dan akhirnya berujung dengan tawa.
Kali
ini, aku akan bercerita mengenai kata tidak mungkin yang berubah menjadi
langkah-langkah perjuangan. Semua orang pasti memiliki hal yang mereka
perjuangkan di titik balik hidupnya. Mungkin untuk beberapa orang pengalaman ini
tidak akan berkesan, tapi bagiku pengalaman ini adalah titik balik di mana aku
bisa menyamakan pijakan dengan orang-orang yang awalnya jauh di atasku.
Aku
adalah seorang anak yang tumbuh di dalam keluarga yang bisa dibilang bertani.
Orang tuaku harus membalik bumi untuk mencari sesuap nasi. Untungnya, ayah
memiliki pekerjaan lain yang bisa menunjang keuangan keluarga. Walaupun kami
hidup dalam kata mendekati cukup, bagi orang tuaku sekolah harus tetap yang terbaik.
Perjalanan
ini akan aku mulai dengan menceritakan bagaimana sulitnya berjuang di sekolah
menengah pertama. Masa untuk pertama kali aku bersekolah ke kota dan bertemu
orang baru, budaya baru yang jauh berbeda dari tempatku yang bisa dikatakan
desa kecil. Bahasa saja sudah berbeda sehingga mencari teman saja cukup susah.
Tapi, karena dasarnya aku yang tidak tau malu ini mudah beradaptasi karena
tidak pernah minder ketika diejek mengenai dialek bahasaku. Sekolah menengah
pertama ini mengubah mindsetku yang awalnya anak desa menjadi orang yang haus
akan kemajuan.
Seorang
anak desa sepertiku yang sejak sekolah dasar hanya tau bahasa inggris tidak
apa-apa sebagai “no what what” berubah menjadi anak desa yang mati-matian untuk
mengejar ketinggalan dari teman kelas. Bersyukur memiliki mental yang tidak
mudah runtuh membuatku berjuang begitu keras untuk menyamakan langkah dengan
teman-teman yang memang sejak kecil sudah dimanjakan oleh fasilitas kota dan
pendidikan yang lebih baik. Dan beruntung menemukan teman yang setidaknya
menjadi sumber belajar sambil bermain.
Cerita
ini akan aku fokuskan bagaimana aku berjuang dalam belajar bahasa Inggris.
Sebenarnya aku juga berjuang untuk mata pelajaran lainnya, tapi bahasa Inggris
ini memiliki kesan yang istimewa bagiku.
Semuanya
berawal ketika masa orientasi dimana semua orang dengan lancar memperkenalkan
diri menggunakan bahasa Inggris. Jangan tanya betapa memalukannya pengalaman
pertama ini bagiku. Jangankan untuk memperkenalkan diri, belajar bahasa Inggris
saja tidak saat aku masih di sekolah dasar. Masih bisa aku rasakan betapa
sakitnya saat guru membentakku karena benar-benar kosong dalam kemampuan
speaking ini. Namun, dari sini semua perjuanganku berawal.
Bagi
siapapun yang memiliki kamus besar bahasa inggris pasti tau pada bagian tengah
kamus khusus untuk tenses yang biasanya memiliki warna kertas yang berbeda. Aku
bukanlah anak serakah yang meminta orang tua untuk masuk bimbingan belajar
ketika uang untuk makan saja hanya sekedar cukup. Dan belajar dari kamus usang milik
sepupuku merupakan jalan terbaik yang pernah aku ambil.
Aku
sendiri lumayan ragu jika ini dikatakan otodidak. Aku belajar tidak hanya
sendiri, memiliki teman baik yang jago bahasa Inggris juga menjadi salah satu
kunci suksesku. Selain itu, ketenaran Facebook saat aku masih sekolah menengah
pertama ini juga membuatku lancar dalam speaking dan writing. Memanfaatkan
fitur chatting facebook yang bisa menjangkau orang-orang dari luar negeri
membuatku memiliki pengalaman langsung berkomunikasi dengan orang-orang yang
memakai Inggris sebagai bahasa ibunya.
Pada
percobaan awal, semuanya tidak langsung berjalan lancar.. Masih teringat jelas
bagiku saat kelas VII, ketika guru bahasa inggris memarahiku dan mengatakan
tidak ada harapan bagiku untuk bisa ikut perlombaan English speech sekolah.
Guru lebih memilih teman-temanku yang pada nyatanya memang jauh lebih baik
dariku. Rasanya? Tentu saja sangat sakit. Aku yang berpikir telah memiliki
kemampuan yang cukup setelah berusaha begitu keras ternyata harus gagal karena
diriku sendiri yang memang masih jauh dari kata memadai.
Tapi aku tidak pernah berhenti belajar dan tidak pernah malu untuk bertanya. Mungkin
memang dasarnya aku tidak tau malu, haha. Sejak saat itu aku meningkatkan
volume belajarku sangat intens. Aku bersedia tidak tidur semalaman hanya untuk
belajar bahasa Inggris dari kamus itu. Ingat, hanya lewat kamus. Mencoba
menghafalkan beberapa kosa kata setiap hari, mencoba selalu mengingat aturan
tenses, serta mecoba membuat kalimatku sendiri setiap hari. Hanya tiga hal ini
rutinitas yang selalu kuulang. Memiliki sumber belajar terbatas tidak
menghambatku untuk terus berkembang. Yang pasti niat dan kemauan.
Walaupun
fokus pada bahasa Inggris, aku tidak melupakan akademik lainnya. Orang tuaku
sudah banting tulang untuk menyekolahkanku ke kota, jadi peringkat sekolah yang
cukup baik rasanya harus tetap aku kejar sebagai hadiah untuk keringat mereka. Saat
kelas VII aku selalu masuk peringkat 5 besar di sekolah. Karena ada program
beasiswa bagi seluruh siswa 5 besar untuk setiap tingkat membuat namaku menjadi
perhitungan untuk para guru dan teman-teman. Aku mulai dimasukkan menjadi salah
satu siswa yang berpengaruh dalam akademik.
Waktu
pembuktian saat itu tiba dengan sangat baik. Pada awal kelas VIII, sekolah mengadakan
seleksi untuk memilih perwakilan mengikuti lomba bahasa Inggris dalam beberapa
kategori tingkat provinsi. Dan di sanalah aku mencoba mendaftarkan diri dan
bersiap untuk ditolak lagi. Tapi, pepatah yang mengatakan usaha tidak akan
menghianati hasil menjadi kenyataan bagiku saat itu. Bayangkan bagaimana
rasanya dari seorang siswa yang selalu diremehkan di kelas bahasa Inggris
menjadi seorang siswa yang diperebutkan oleh pelatih untuk mengikuti ajang
debat, speech, dan reporter berita. Dunia itu bisa gila, kan?
Waktu
itu, aku lebih memilih mengikuti ajang debat karena aku suka dengan pelatihnya,
haha. Berjuang lagi tidak menjadi hal berat bagiku. Karena, pembuktian sudah
menanti untuk ku raih. Sekali lagi, usaha tidak menghianati hasil. Aku dan
kelompokku menjadi runner up perlombaan itu. Perlombaan bahasa Inggris tingkat provinsi yang bisa dimenangkan oleh anak desa sepertiku. Dan
sejak itu, aku selalu menjadi salah satu perwakilan sekolah untuk setiap ajang
bahasa Inggris. Mendapatkan mendali di setiap ajang yang diikuti rasanya menjadi
hadiah besar untuk keringat dan air mataku selama ini.
Hasil
dari perjuanganku tidak hanya berakhir disana. Sekolahku memberikan nominal
uang bagi siapa saja yang mendapatkan nilai sempurna dimata pelajarkan yang diujian
nasionalkan. Dan, di sanalah aku berada. Berdiri di mimbar menerima uang hadiah
atas pencapaianku. Aku satu-satunya siswa di sekolah yang memiliki nilai UN
bahasa Inggris sempurna di angkatanku.
Nikmat
sekali bukan hasil kerja keras itu?
Seorang
anak desa yang awalnya diejek karena dialek desanya berubah sedikit demi
sedikit menjadi seorang English debater di sekolahnya. Dari yang awalnya hanya
tau good morning menjadi orang yang sekarang berdiri di mimbar untuk
menyampaikan ceramah dalam bahasa internasional. Dari orang yang awalnya takut
untuk berbicara menjadi kepercayaan sekolah untuk mengikuti perlombaan yang
bertemakan bahasa Inggris. Berawal dari seorang siswa yang selalu duduk
di bagian belakang menjadi siswa yang selalu disebut di dalam pengumuman
penerima beasiswa setiap semester. Dari orang yang awalnya menjadi peraih nilai
terburuk di kelas menjadi orang yang mendapatkan nilai sempurna dalam mata
pelajaran bahasa Inggris pada ujian nasional.
Sekarang, jika kalian memiliki sesuatu yang rasanya sangat jauh dari jangkauan, berdirilah, mulai melangkah. Jangan hanya duduk dan meratapi ketidak mampuanmu itu. Berhasil atau tidak usahamu, setidaknya kamu telah berusaha. Apa lagi yang bisa mendefinisikan manusia selain dari usahanya?

Komentar
Posting Komentar